Aku Ingin Bahagia

Ini minggu yang masih sama dengan sebelumnya. Hanya kamar, laptop, internet dan aku yang sibuk dengan urusan tugas.
Minggu ini minggu biasa dengan aku sebagai objek diterpa tugas. Tumpukan.
Tapi aku menemukan sesuatu yang berbeda, kalimat yang sejak lama ingin aku katakan 'Aku Ingin Bahagia'.
Banyak dari kita yang selalu menggumamkan kata itu pada setiap kesempatan. Berharap hal itu menjadi nyata. Namun kenyataan berkata beda. Bahagia tidak semudah mengedipkan mata.
Kita hanya bisa mengucapnya dan terkungkung dalam dunia yang memaksa kita untuk berpaling dari mengejar bahagia. Kita adalah anasir dunia kerja, dunia dimana bahagia adalah hal yang sakit untuk diraih, hingga kita takut untuk berada disana.
Dunia dimana kebanyakan orang dewasa yang memerintah. Ya, orang dewasa. Makhluk yang pragmatis, tidak mau melakukan apa yang anak kecil lakukan, "kekanak-kanakkan ...", kita bilang. Padahal siapa yang kekanak-kanakan sekarang. Mereka yang dengan senyum bahagia, melakukan apa yang mereka suka, tanpa pura-pura, mengerjakan apa yang disebut bahagia. Atau kita yang menjalani kerja, meski tidak suka, namun memaksa senyum untuk tereka, walau 'tak bahagia. Kadang juga menjadi orang sok mangkus dan sangkil, berkata yang menurut 'ego' kita adalah hal yang benar adanya. Memberi petuah dan aturan tanpa kompromi, atau bahkan sekedar nasehat belaka.

Saat aku bertemu dengan anak kecil bahagia, aku merasa lebih kecil dihadapan mereka. Aku sadar betapa mereka dapat menikmati hidupnya, menikmati apa yang ada, melakukan apa yang mereka mau, tanpa batas-batas norma, nilai atau kita sebut aturan. Walau terkadang kita berkata "Hus ... tidak sopan." atau "Hei bocah, jangan lakukan itu.", dan anak -anak itu akan menunjukkan umpan balik mereka dengan berbagai cara, ada yang tetap melakukannya bahkan semakin menjadi seolah kata-kata kita adalah suruhan, itu cara mereka memberontak untuk mempertahankan kebahagiaan. Ada juga yang hanya diam dan beralih ke hal bahagia lainnya walau mereka belum paham apa yang akan mereka hadapi nantinya, tapi mereka melakukkannya karena mereka tahu akan bahagia. Dan ada yang memilih menangis, merasa kebahagiaannya telah direnggut, dan akhirnya kita sebagai yang dewasa tidak memiliki pilihan lain untuk menyerahkan kembali kebahagiannya, seolah menjilat ludah kita sendiri.

Lalu cara mana yang kita pilih? Memberontak, melakukan apa yang kita suka. Beralih ke hal lain yang kita belum tahu resikonya atau malah menyerah dan berharap ada yang akan memberikan kebahagiaan itu bagi kita?

Kita ini perkerja, yang selalu sibuk dengan dunia kita hingga terkadang lupa dengan bahagia, walaupun itu tujuan utama kita bekerja. Tapi jangan lupakan bahwa kita ini adalah pendo'a, kita memiliki Sang Pencipta. Ia memberi kita banyak pilihan lain untuk bahagia, tidak harus bekerja yang membuat kita melakukan hal yang tidak kita suka. Akan tetapi kita bisa bekerja, melakukan apa yang sesuai dengan bahagianya kita, meski lupa dengan tujuan bahagia, kita tahu bahwa kita bahagia dalam bekerja. Mungkin itu yang disebut passion atau masing-masing dari kita punya sebutan lain untuk itu.

Selalu ingat kita ini pendo'a. Kita sudah dijanjikan oleh-Nya bahwa ia akan memberi apa yang kita inginkan, meski tidak sekarang, atau juga ia menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik bagi kita, walau pun hanya kebahagiaan-kebahagiaan kecil tapi  mungkin orang lain sangat kesulitan untuk mendapatkannya, bisa keluarga, peluang kerja, senyum dari si dia atau momen-momen bahagia lainnya. Kita hanya perlu bersabar untuk meraihnya. Jika memang apa yang sekarang bukan yang kita inginkan, usahakan untuk mencari kebahagiaan didalamnya. Dan apabila itu tidak ada, kita masih punya pilihan lainnya di luar sana. Selalu ingatlah pendo'a, kita memang bukan lagi si kecil yang bisa dengan mudah bahagia walau banyak orang bilang bahagia itu sederhana, tapi kita punya Sang Pencipta, Maha Cinta, yang olehnya kita diberi pilihan lain untuk bahagia.

Selamat berjuang, pendo'a.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar