Kita biasannya membahas hal-hal yang biasa. Tugas, absen, makan dimana, besok bolos apa engga dan hal lainnya. Kita saling bercerita, kamu membagi banyak sekali apa saja yang baru saja kamu lalui kemarin. Menceritakan apa yang kamu lakukan hari ini dan hal yang akan kamu lakukan besok. Aku tertawa, mataku ikut berkaca-kaca, kadang sampai ikut meneteskan air mata. Aku senang saja mendengar semuanya.
Sebenernya bukan hanya kita berdua, ada juga yang lainnya. Biasanya ramai, lalu jarakku dan kamu perlahan menjauh dan kita pun sama-sama tahu kenapa. Kamu lebih tertarik untuk tenggelam dalam cerita teman lainnya. Lalu aku berada disudut ruanggan, memandangi dirimu yang tertawa bersama semuanya.
Oh iya ada sedikit cerita tentang rasa. Rasa yang membuatmu bahagia, selalu ingin bersamanya dan ikut terluka melihat kesedihannya. Rasa untuk selalu memberikan perhatian kepadanya. Mencurahkan apapun yang kamu punya. Membisakan apapun yang dapat membuatnya selalu ada.
Rasa yang kamu teruntukan pada orang yang menjadikan senyummu tiba-tiba terkembang. Buat kamu rindu saat Ia hilang entah kemana, padahal baru sehari saja. Orang yang kamu rindukan cerita-ceritanya, melihat senyumnya, memandangi warna matanya, apa saja. Darinya.
Setidaknya itulah yang saat ini kurasa. Walaupun ... tidak menggambarkan semuanya.
Kamu mungkin tidak akan berpikir siapa orangnya. Yang aku rindukan dengan sangat, namun 'tak di gubris, 'tak di hiraukan. Dan tidak usah sejauh itu, kamu mungkin saja tidak tahu aku menyimpannya. Kamu tidak tahu aku merasakannya, memendamnya sangat rapat, hingga kamu tidak menyadarinya.
Tapi cukuplah saja.
Aku senang kita dapat sering bersama. Senang bisa mendengar kisahmu. Menjadi salah satu orang yang selalu bisa memperhatikanmu, teman ceritamu. Tidak perlu lebih dari itu. 
Biar saja tetap seperti ini. Biarkan aku tetap menyampaikan rasa lewat seluruh perhatianku. Usahaku untuk selalu ada saat kamu butuh. Menyimpan rapat dalam hati dan 'tak mengungkapkan rasaku padamu. 
Aku juga akan membiarkan semua cerita bahagia kau sampaikan. Cerita tentang hal yang sanggup kau dapatkan. Dan membiarkan aku sendiri menutup rapat kesedihan, karena tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan.

     Kamu sedang sibuk dengan hatimu. Meberikan waktu yang kamu punya untuknya. Orang yang kamu cinta. Memberikan semua tiket keinginan untuk memanjakannya. Menyuguhkan berbagai fasilitas, agar membuatnya nyaman dan tidak meminta untuk berpindah gerbong lainnya. Semua itu berjalan dengan harapan kamu bisa mengikat dirinya. Padahal yang terjadi, kamu sudah terikat padanya.
     Banyak hal yang sudah kamu korbankan untuknya. Melupakan masa lalu pun salah satunya. Meskipun itu juga menjadi alasan kamu untuk terburu mengikat diri dengan Ia. Jadi hubungan kalian yang saat ini bersifat mutualisme. Tak seperti yang dulu. Kamu merasa di gantungkan dan orang yang kamu suka pun sama. Hingga memperjelas arah hubungan pun kamu tidak bisa.
     Pengorbanan lainnya adalah saat waktu untuk sahabat-sahabatmu kamu pinjam untuk bersamanya. Berkata akan menggantinya. Tapi entah kapan kesanggupanmu itu ada. Kamu tetap sibuk dengan hatinya. Dan lupa untuk minum kopi bersama. Makan bersama atau sekedar duduk dan bercerita.
     Sedari tadi aku terlalu menjelaskan banyak hal tentangmu seolah aku sangat mengerti dirimu dan apapun yang melekat padamu. Tentu. Setiap pembaruanmu adalah informasi menarik bagiku. Setiap bahagiamu memberi arti tersendiri bagiku. Apalagi sedihmu. Hm ... lebih menyayat bagiku. Yah, mungkin selama ini kamu tidak tahu tentang itu. Tentang perhatianku, rasa khawatirku juga rasa sukaku. Padamu.
     Tapi aku tidak ingin memaksamu tahu. Karena aku pun takut menjadi belenggu. Membatasi setiap gerakmu yang meragu karena ucapan dan keberadaanku.
     Aku sok bijak ya? Hm ... padahal didalamnya aku menyimpan banyak rasa untukmu. Rasa yang tidak kuungkap. Rasa yang buatku takut saat tidak seharipun meihatmu atau sekedar pembaruanmu. Rasa cemas saat kamu menuliskan sakit di situ. Rasa gelisah saat melihatmu marah.
     Bahkan aku punya rasa yang lebih aneh buatmu. Saat kamu bertemu orang-orang baru. Mendapat kenalan baru. Nama-nama baru. Nomor baru. Juga obrolan baru. Hal itu membuatku cemburu. Karena aku tidak bisa mendapatkan itu. Aku hanya bisa melihatmu. Tidak mengatakan apapun padamu. Melihat bahagiamu. Dan menyimpan rapat-rapat rasaku.
     Aku padamu, seorang pemerhati bahagiaanmu.


Aku bingung bagaimana menggambarkan rindu. Ada yang bisa membantu? Ini sangat susah, apalagi jika sudah menyangkut tentangmu.
     Entah bagaimana aku bisa rindu pada orang sepertimu. Apa mungkin karena kamu terlalu sering hadir? Hingga semua tentangmu menjadi doktrin buatku. Semua yang kamu ceritakan, senyuman, canda dan gurauan, menumpuk menjadi kenangan yang sangat sulit untuk dilupakan. Sudah tertanam terlalu dalam dan menjadi sebuah kebiasaan. Hingga tidak bertemu denganmu sehari saja, seolah terasa sudah lama. Lalu


Kala Kopi
Aku tidak terbiasa meminum walau hanya seteguk dalam seminggu. Bisa dibilang jarang.
Saat kamu melihatnya, aku yakinkan saat itu sedang ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Hanya secangkir saja, tidak lebih.
Tidak juga terlalu manis, cukup sesendok saja. "Soalnya kalo kita minum yang pahit, kita jadi inget kalo di luar sana ada yang manis." -Cicak di Dinding, Rectoverso.

Saat malam dan mendapat tanggungan untuk begadang sudah lazim disekitar kita untuk mengkonsumsi kopi.  Jadi ingat dengan lagu Jawa yang di nyanikan bersama saat sekolah.
Gethuk, asale soko telo
 Gethuk, berasal dari ketela
Moto ngantuk, iku tambane opo
 Mata mengantuk, itu apa obatnya
Dan seraya kami semua menjawab "Kopi ..." kemudian tawaan demi tawaan demi tawaan memenuhi ruang kelas hingga mengganggu tetangga sebelah yang sedang belajar saat itu. Tapi lagu Sundari Soekotjo ini adalah salah satu yang paling aku ingat hingga sekarang.

Aku meminum kopi hari ini bukan tanpa alasan. Sebuah amanah datang dari teman-teman yang membuatku merasa harus melepas rencana tidur nyamanku untuk sesegera mungkin menyelesaikannya. Skenario. Ya, aku diminta (-Red) untuk menulis skenario film yang akan tim kami buat.

Aku sudah sering melihat berbagai bentuk skenario di Internet (baca : Mbah Google). Tapi baru kali ini aku akan belajar membuat skenario yang benar-benar akan di film kan, ya walaupun bukan untuk di tampilkan di bioskop-bioskop kesayangan anda *eits* aku sangat bersemangat untuk membuatnya. Mungkin ini kembali lagi pada tulisanku kemarin"Mati Berkarya", tentang betapa inginnya aku berkarya lewat tulisan. Aku selalu sadar tulisanku belum bagus, makanya aku akan terus menulis dan memintakan koreksi kepada orang-orang yang lebih ahli di sekitarku. Dan mensuplai otak dengan cara membaca lebih banyak buku agar mengetahui bagaimana cara menulis orang lain dan menambah perbendaharaan kata ku karena aku tertarik ketika ada satu kata yang belum aku ketahui maknanya. Aku memanfaatkan aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tersedia di gadget yang aku punya. *ini bukan iklan lho ya

Terkesan sesumbar memang, namun ini do'a. Do'a dari seorang calon pujangga, perangkai kata, yang ingin dikenang lewat tulisannya karena rupa terlalu mudah untuk di lupa.

Kala kau lihat kopi ditempatku berada. Aku yakinkan, aku sedang melakukan apa yang aku suka.
By @startupstockphotos

Pic By : Sarah Reid
Hei apa kabar? Masih di Syawal, masih ada sumur diladang, masih ada waktu untuk ketemu, minta maaf, walau sekedar lewat tulisan. Mohon maaf lahir dan batin.

Akhir-akhir ini aku sedang asik stalking akun sosmed para pelaku seni kesukaanku, aku mencari apa latar belakang pendidikan mereka, karya yang pernah mereka buat (utamanya karya tulis). Benar saja, aku kagum. Mereka yang aku pikir berada di panggung hiburan karena bermodalkan tampang dan paling tidak suara yang enak di dengar, tertanya punya sisi lain yang banyak orang tidak ketahui. Ada yang memiliki gelar sarjana dari Universitas yang tidak main-main kualitasnya. Ada pula yang mendapat beasiswa untuk jenjang S2.

Aku terkesan dengan jadwal mereka di layar kaca dan acara-acara off-air, mereka juga masih mementingkan pendidikan. Dan itu aku anggap sebagai karya mereka juga.

Ngomong-ngomong soal karya, aku tidak ingat apa karya yang telah aku buat hingga usiaku sekarang ini -- atau memang tidak ada. Saat stalking itu pun aku sadar dan memiliki keinginan untuk memiliki sebuah karya, apapun itu. Tentu dalam hal positif. Dan aku pun berpikir tentang apa hal yang paling mudah untuk aku lakukan dan yang paling aku suka. Menulis. Mungkin itu yang bisa aku jadikan 'karya' buatanku.

Ya memang keterampilan ini banyak sekali orang yang memilikinya. Tapi 'tak apa, aku hanya ingin berkarya. Karena aku sadar, aku akan tua, akan mati dan menghilang dari dunia nyata.

Lalu apa yang bisa orang kenang dariku? Maka -- saat ini -- aku memilih menulis, tentang apa saja, dimana saja, tentang ilmiah, tentang sosial, tentang sastra, atau juga tentangmu. Haha.

Semua penulis akan meninggal. Hanya karyanya yang kaan abadi sepanjang masa. Maka, tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti - Ali bin Abi Thalib
Semalam aku memimpikanmu, entah kenapa. Dan hal yang paling aku benci pun muncul saat terbangun. Rindu. Aku sedang berada di tempat lain saat ini dan tiba-tiba semua terasa membosankan, jengah. Waktu serasa berjalan lebih lama, tiap detiknya bagai palu yang memukul-mukul genderang hati.

Aku rindu. Padamu. Tahukah kamu ini menyiksa? Tidak mengenakkan rasanya merindukanmu. Dadaku tiba-tiba sesak, lalu seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari mataku. Tapi aku 'tak berdaya hanya bisa berdiam di ranjang, menatap langit-langit kamar, mencari objek lain untuk diperhatikan, namun 'tak bisa. Tetap ada kamu disana.

Kamu tahu, ini semua karena mimpi. Semalam aku bermimpi dipelukmu erat. Saat itu tiba-tiba semua memori tentangmu di otakku muncul. Kamu yang selalu menjadi lebih dewasa dariku, mengerti aku. Semua perhatian yang kamu berikan. Walau kadang kamu juga membuatku kesal karena lama membalas pesan yang aku kirim. Entah memang karena sibuk atau karena kamu mencoba untuk mengujiku. Entah. Tapi tiap kali aku di buat sebal karena menunggu balasanmu, hal itu sirna begitu saja saat aku menerima balasanmu. Bodohnya aku.

Terima kasih telah menjadi dewasa untukku, disaat semua orang terdoktrin bahwa sulung tidak boleh cengeng, sulung  harus kuat, tidak manja. Menjadi danau yang sejuk di tengah gurun kehidupan yang masalah nya bagai butir-butir pasir. Terima kasih untuk semua itu, menjadi sandaran saat aku cengeng, menguatkanku saat lelah datang bersamaan dengan tumpukan masalah hidup. Dan juga terima kasih untuk tetap menerima ketika sifat manjaku muncul. Aku bahagia.

Seandainya saja kamu hadir disini, datang. Dapat melihat wajahmu, mencari tentramnya hati di tiap lekuknya. Duduk dekatmu, disampingmu, menikmati aroma tubuhmu. Menumpahkan semua air mata cengengku. Hingga semua masalah terasa lebih ringan.

Aku tahu kamu tidak mungkin ada disini, karena kamu sudah tidak sendiri lagi. Ada seseorang disana yang menemani. Dan aku tahu.

Aku pun tidak punya hak apa-apa atasmu. Kamu bebas memilih siapapun yang kamu mau untuk berada di sampingmu. Aku 'tak bisa memaksa. Dan tidak ada yang bisa terucap dariku, termasuk rasa.

Jadi sekarang, tinggallah aku disini, bersama kumpulan kertas, tumpukan buku, tanpamu. Tapi mungkin, "Kau akan tetap terselip di antara huruf-huruf dalam buku yang kubaca. Di antara butir-butir udara yang kuhirup, bahkan di sela-sela sel darah yang menghidupkanku. Aku tetap percaya kepada kata, kepada huruf. Itulah yang menyebabkan adanya hubungan antara oasis dan bukit-bukit pasir itu." - Trilogi Soekram (Sapardi Djoko Damono)

Menjadi anak sulung bukanlah perkara yang mengerikan, seperti apa yang dikatakan orang. "Anak sulung bakalan jadi no. 2 daripada adiknya.", "Berat jadi anak sulung, harus bisa semuanya.", "Nantinya si Sulung yang harus menanggung keluarga, jadi tulang punggung.", "Jadi panutan adik-adiknya.", "Ngga akan ada waktu buat seneng-seneng." dan celotehan lainnya yang sulit untuk di tuliskan satu persatu. Dan mungkin beberapa diantara pernyataan itu ada benarnya, tapi ada juga yang subyektif, hingga sulit untuk di nalar.

Ada pula yang berkata : anak sulung adalah seorang yang kuat. Dengan berbagai macam tuntutan, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semuanya. Sekuat tenaga, dengan bebagai macam cara, 'tak lupa teriring do'a. Agar kuat, agar semangat. Sulung bukan seorang pengemis, meminta agar semua terpenuhi. Sulung adalah tamparan, mengingatkan semua orang bahwa dunia dapat ditaklukkan dengan usaha, bahwa ada banyak hal di luar sana yang menunggu kita untuk di coba. Dan Sulung bukan drama romansa, berisi tangis dan derita. Sulung harus kuat, menutupi kesedihan, menampakkan bahagia dan usaha.

Tapi jangan melupakan jiwa manusianya, Sulung juga bisa berduka, meski selalu terlihat penuh canda. Pun terkadang butuh seseorang yang Sulung anggap lebih tua. Lebih bijak. Bukan hanya butuh hadirnya saja, tapi juga pundaknya yang siap di tumpahi segala luapan tangis Sulung. Butuh telingganya yang mendengar kisah-kisah hidup Sulung. Butuh pelukan hangat yang bisa menenangkan Sulung ketika semua yang sudah terencana, hancur lebur begitu saja. Guyuran rasa kecewa, dan amukan caci juga cerca musuh-musuhnya.

Sulung memang mencoba selalu kuat. Tapi tekad bulat, pastilah dapat tergerus layaknya daun dimakan ulat. Maka saat-saat kecewa itu tiba, semoga ada pengayom Sulung yang datang, membimbing dan siap menjadi keranjang. Mewadahi segala hal yang ingin Sulung bagikan.