Rasa Rinduku Saja


Aku bingung bagaimana menggambarkan rindu. Ada yang bisa membantu? Ini sangat susah, apalagi jika sudah menyangkut tentangmu.
     Entah bagaimana aku bisa rindu pada orang sepertimu. Apa mungkin karena kamu terlalu sering hadir? Hingga semua tentangmu menjadi doktrin buatku. Semua yang kamu ceritakan, senyuman, canda dan gurauan, menumpuk menjadi kenangan yang sangat sulit untuk dilupakan. Sudah tertanam terlalu dalam dan menjadi sebuah kebiasaan. Hingga tidak bertemu denganmu sehari saja, seolah terasa sudah lama. Lalu

esok harinya kita bertemu. Dengan aku yang menyimpan rasa rindu yang lalu padamu. Tanpa malu dengan polosnya aku mengatakannya padamu. “Kemana saja kamu? Kenapa tiba-tiba menghilang dan tidak mengabari aku?”, dan masih banyak yang aku katakan untuk mengungkapkan betapa rindunya aku padamu. Dan dengan singkat kamu menjawabi semua kekonyolanku. “Kenapa? Kamu rindu pada Saya?”, ujarmu sembari menatapku dengan senyuman manismu.

     Biasanya setelah mendapat jawaban serupa itu darimu, aku langsung membisu. Seperti mendengar sebuah jawaban atas harapanku terhadap kepekaanmu padaku. Kamu seolah peka terhadap rasa rinduku yang sudah dengan rapi sudah Ku bias dan Ku ramu. Kamu seolah mengerti saja atas kekhawatiranku terhadapmu. Seolah sebaliknya kamu pun khawatir karena tidak bertemu denganku. Aku senang dengan itu, aku menyukai caramu menanggapi aku.

     Dan hari itu, setelah obrolan aneh tentang rindu. Kamu hendak pergi, mengajakku. “Ayo kita makan, kali ini aku traktir.” Bukan masalah makanan gratis yang hendak kamu beri. Tapi kesempatan ini. Aku membayangkan aka nada banyak hal yang bisa kita obrolkan nanti. Tapi aku tidak langsung mau dan berpura-pura curiga atas tawaran ini.  “Apa maksudnya ini? Kamu baru mendapat gaji?” Aku tekankan ini hanya klise belaka, agar semuanya terlihat normal-normal saja.

     Harapan berikutnya adalah jawaban romantis untuk membuka perjalanan ngobrol kita. Seperti “Bukankah normal seseorang mentraktir pasangannya.”, atau sekear jawaban singkat “Karena ini KITA”, dengan sedikit penekanan pada kata ‘kita’. Sehingga menggambarkan rasa memiliki antar pasangan yang berawal dari ‘aku’ dan ‘kamu’ atau mungkin ‘saya’. Berubah ke jenjang berikutnya dengan sebutan ‘kita’.

     Dengan khusyuk aku mencermati setiap gerak bibir dari ucapanmu atas pertanyaan terakhirku. Tidak hanya itu, sorot matamu juga menjadi perhatianku. Pokoknya aku memperhatikan detil tiap bagian wajahmu saat kamu mengucapkan itu.

“Ah iya, kamu kan sahabatku, jadi tidak apa sesekali mentraktimu.”, ujarmu.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar